-->

Sinopsis Cerbung Rawa Pening karya Sapto Sunarso dalam Panjebar Semangat Edisi 16 sampai 19


Ki Ajar Salokantara merupakan seorang pemimpin di padepokan yang bertempat di desa Ngasem sebelah utara gunung Merbabu. Ki Ajar dikenal memiliki kesaktian yang sangat tinggi. Di padepokan tersebut para pengikut sangat ramah-tamah dan rukun. Suatu ketika padepokan akan mengadakan gotong royong untuk sebuah acara selamatan tahunan. Para pengikut padepokan semua bekerja keras untuk acara tersebut, baik laki-laki maupun perempuan semua mencari perlengkapan untuk keperluan membuat perlengkapan selamatan.

Kebetulan ada orang baru yang ikut dalam membuat perlengkapan tersebut bernama Ariwulan. Dia mendapat bagian untuk mencari dan membelah jambe / buah pinang. Karena terlalu sayang dengan Ariwulan, para pengikut padepokan yang dipimpin Ki Ajar menyembunyikan semua senjata tajam karena takut Ariwulan terluka. Akhirnya Ki Ajar meminjamkan sebuah pusaka pada Ariwulan, namun dengan satu syarat yaitu jangan sampai pusaka tersebut diletakan diatas pangkuan Ariwulan. Ariwulan mengangguk tanda mengerti, kemudian mulai melaksanakan tugasnya.

Setelah selesai mengerjakan tugas Ariwulan lupa dengan pesan yang disampaikan oleh Ki Ajar. Dia meletakkan diatas pangkuannya ketika sedang membersihkan perlengkapan selamatan. Dalam seketika pusaka tersebut menghilang. Ariwulan panik kemudian mendatangi Ki Ajar untuk menanyakan apa yang telah terjadi dengan pusaka tersebut namun Ki Ajar baru mau menemui Ariwulan setelah upacara selesai.

Setelah selesai upacara selamatan Ki Ajar menemui Ariwulan dan berkata “kamu telah melanggar yang menjadi pesanku, aku tak akan memarahimu dan aku akan pergi ke Gunung Telamaya untuk bertapa mencari pencerahan tentang pusaka yang hilang.” Kemudian Ariwulan menunjukan perutnya yang membesar (hamil) kepada Ki Ajar dan Ki Ajar memberitahu bahwa itu adalah akibat dari pusaka yang hilang. Ariwulan ingin ikut dengan Ki Ajar namun beliau menolak.

Semakin hari perut Ariwulan semakin membesar, semula pengikut padepokan yang suka terhadapnya kini menjadi benci terlebih lagi ketika Ariwulan melahirkan seekor ular naga. Hal itu membuat gempar seluruh desa dan padepokan hingga membuat Ariwulan pergi dari desa dan tinggal didekat hutan belakang padepokan untuk merawat anaknya hingga besar.

Waktu berlalu dan kini sang naga pun telah tumbuh menjadi dewasa dan memiliki kemampuan berbicara layaknya manusia. Sang naga bertanya kepada ibunya tentang siapa ayahnya dan Ariwulan menjawab ayahnya adalah pemimpin padepokan yang ada di desa Ngasem yang bernama Ki Ajar. Sang naga bertanya kembali dimana ayahnya sekarang dan Ariwulan menjawab dia sedang bertapa di Gunung Telamaya. Mendengar hal itu Sang Naga ingin menyusul ayahnya. Ariwulan teringat sebelum Ki Ajar pergi untuk bertapa beliau menitipkan sebuah lonceng (klinthing) untuk sebuah tanda lalu lonceng tersebut dipakai sang naga.


Sang naga dan ibunya terus berjalan dengan suara lonceng ditelinga naga yang sangat keras hingga desa- desa yang dilewati menjadi gempar dan para warga menamai sang naga dengan sebutan Baru Klinthing.. Akhirnya Baru Klinthing sampai di Gunung Telamaya terlebih dahulu dan bertemu dengan Ki Ajar. Ki Ajar terbangun dari bertapa kemudian bertanya kepada sang naga, kamu siapa dan mengapa bisa memakai lonceng tersebut. Sang naga menjawab bahwa dirinya adalah anak dari Ariwulan. Lalu Ki Ajar memerintahkan sang naga untuk bertapa dengan melingkari sebuah gunung yang bernama gunung Kendhil. Karena tak bisa melingkar, Baru Klinthing menjulurkan lidahnya. Ki Ajar memotong lidah Baru Klinthing dan membuat Ki Ajar seketika bertemu dengan Ariwulan. Ariwulan terkejut bercampur bahagia dan bertanya mengenai Baru Klinthing dan Ki Ajar menjawab bahwa suatu saat Baru Klinthing akan menjelma menjadi seorang manusia.

Suatu hari para pemuda dari Desa Pening berburu ketempat Baru Klinthing bertapa. Ditengah perjalanan mereka mendengar nyanyian kidung dari seorang janda yang tak lain adalah Ariwulan. Melihat kehidupan janda yang sangat menyedihkan sebagian dari mereka membawa Ariwulan ke Desa Pening dan sebagian lagi tetap berburu. Karena tanpa hasil mereka menebangi akar pohon yang berada didekatnya kemudian keluarlah darah karena akar tersebut sebenarnya adalah badan dari Baru Klinthing. Setelah mendapati akar tersebut adalah daging para pemuda membawa daging-daging tersebut kembali ke Desa Pening kemudian mengadakan pesta besar-besaran.

Setelah kejadian itu arwah Baru Klinthing menjelma menjadi seorang anak kecil yang dekil dan kumuh. Anak kecil tersebut mendatangi Desa Pening meminta-minta makanan karena kelaparan, namun para penduduk malah mengusirnya. Pada akhirnya anak kecil tersebut tiba dipinggir Desa Pening dan bertemu dengan janda tua yang tak lain adalah Ariwulan. Disana Ariwulan memberi makan dengan tulus kepada anak malang tersebut. Setelah selesai makan anak kecil tersebut berpesan kepada Ariwulan agar menjadikan lesung sebagai perahu dan centhong (alat pengambil nasi) sebagai dayung.


Anak kumuh itu mendatangi Desa Pening kembali dan mengadakan sayembara untuk mencabut lidi dari tanah. Semua warga desa telah mencoba namun tak ada satupun orang yang mampu mencabutnya. Anak kumuh nan dekil tersebut lalu mencabut lidi dengan kuat hingga tanah dibawah lidi terangkat dan terpental kemudian menjadi sebuah gunung bernama Kendhalisada. Sedangkan lubang dari cabutan lidi tersebut keluar air deras hingga membanjiri seluruh Desa Pening dan membuat seluruh penduduknya mati. Melihat kejadian tersebut Ariwulan teringat pesan dari anak lusuh yang baru dia temui agar menjadikan lesung sebagai perahu, centhong / alat pengambil nasi sebagai dayung untuk dan akhirnya sang janda selamat dan desa itu sekarang menjadi hutan rawa yang kemudian diberi nama Rawa Pening.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Sinopsis Cerbung Rawa Pening karya Sapto Sunarso dalam Panjebar Semangat Edisi 16 sampai 19"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel